TANGISAN DI SENJA HARI

Oleh: Sapta Erlina
(Penulis adalah siswa kelas VII A MTs PPNI)
Malam ini aku terbangun dari tidurku karena suara tangisan. Aku merasa takut. Kuputuskan untuk memejamkan mata dan kembali tidur. Tapi, tidak bisa. Suara tangisan itu semakin jelas dan tak kunjung berhenti. Dengan ketakutan, aku berteriak memanggil Ayah dan Ibu. Mereka pun datang dengan tergesa.
“Ada apa? Kamu kok teriak-teriak?” Tanya Ayah heran.
“Tadi aku mendengar ada tangisan di luar rumah...” Jawabku masih ketakutan.
“Oh itu...mungkin hanya anak tetangga yang nangis,” kata Ibu.
Ibu menyuruhku kembali tidur.
Esok pagi, aku terbangun jam 7 pagi. Seperti biasa, aku langsung mandi dan bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Sesampai di sekolah, aku masih memikirkan tangisan yang kudengar tadi malam. Sepulang sekolah, aku mengajak teman-temanku untuk tidur di rumah, karena aku takut tidur sendirian. Merekapun setuju. Aku senang.
Malamnya, ketika kami asyik bermain, tiba-tiba suara tangisan itu terdengar lagi.
“Bro, suara apa itu?” salah seorang temanku bertanya.
“Sst.. Itu yang ingin aku ceritakan pada kalian di sini.” Kataku ketakutan. Suara itu terdengar lebih kencang dari sebelumnya. Sama sepertiku, semua teman-temanku tampak sangat ketakutan.
“Bro... Kapan paginya? Aku takut” Kata temanku.
“Ah, percuma aku ngajak kalian, ternyata kalian takut juga!” kataku sembari bercanda dibalik rasa takut. Suara itu terdengar lebih dekat. Kami serentak berteriak.
“Ada apa ini teriak-teriak?” Tanya ibuku yang tiba-tiba muncul dari pintu kamar.
“A aa..ada.. su.. su...suara.. ?” Jawab kami dengan gugup.
“Suara apa?” Tanya Ayah yang ternyata juga sudah berada di samping Ibu.
“Suara perempuan menangis yah...” Jawabku.
“ Sudah... Sudah... Tidur lagi, mungkin itu hanya halusinasi,” Kata ayah.
Sebelum tidur, kami sepakat akan menyelidiki hal ini besok senja. Senja pun tiba. Aku dan teman-temanpun menjalankan rencana untuk menyelidikinya. Kami menyusuri jalan di belakang rumah. Kami kaget karena ternyata tidak jauh dari rumah ada sekelompok orang yang sedang melakukan sesuatu. Penasaran, kami mendekatinya. Ternyata, di sini sedang ada syuting film horor.
Aku pun bertanya pada seseorang yang kelihatannya adalah sang sutradara. “Pak, syuting film ini dimulainya kapan?”
“Dari kemaren, Dek”, jawabnya.
“ Apa di film ini ada adegan tangisan, Pak?” Tanyaku lagi.
“Ya,” jawabnya.
Kamipun mengeluarkan nafas lega karena ternyata itu hanyalah tangisan dari artis yang sedang berakting untuk film horor ini.
BACK TO SCHOOL
Oleh Masyta*
Hari itu bumi yang belum di sinari oleh matahari pagi yang masih berkabut seperti terang sabak, aku terbangun dalam tidur malamku. Lalu aku berdiri menuju ruang tengah untuk mengambil sisir, dan aku langsung menyisir rambutku.
Tak lama kemudian ibuku pun terbangun dengan wajah yang mulai tampak jelas berkeriput, jika di luar sana orang tua seperti ibuku mungkin sudah tidak berkerja lagi dan hanya senang-senang saja, tapi tidak. Ibuku langsung ke sumur dan mengambil wudhu’ untuk sholat subuh dan akupun melakukan hal yang sama setelah ibuku selesai. Lain dengan ayahku jam 05:30 wib ayahku sudah berangkat ke kebun untuk menyadap karet, tapi pagi ini ayahku sangat pagi sekali pergi ke kebun lain dengan biasanya. |
Aku langsung sholat subuh aku berjalan menuju dapur, ibuku berkata kepadaku, ”nak ayahmu pergi jalan kaki ke kebun, karena motor sudah tidak berminyak lagi dan uangpun tak ada, ayahmu malu ngutang-ngutang terus di kedai sebelah.”
Aku tersentak.
“Tuhan, inikah cobaan yang harus kami alami untuk menempuh surgamu? Tuhan.... hidupkah kami tanpa harta sedikit pun, jika ini yang terbaik dari mu kami mencoba menerimanya”.
Setelah itu wajah tua ibuku mulai menatapku sendu tapi aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis. Ibuku terkena penyakit asma yang semakin hari semakin menjadi-jadi dan disertai dengan batuk. Hati kecil ku menangis perih, ”Tuhan... Sembuhkanlah Ibuku, sehatkanlah beliau, panjangkanlah umur ayah dan ibuku.”
Pagi yang mulai bercahaya ibuku berjalan dengan pedihnya roda-roda kehidupan menuju kebun. Aku pun bersiap-siap membersihkan rumah, mencuci piring, memasak air, memasak nasi, dan menyapu halaman. Lama sesudah itu ayahku pulang, “nak, apa ibumu masih dikebun?”
“Iya, Ayah”, jawabku.
“Baik lah ayah akan membantunya”, ayah meneruskan.
Sepeninggal ayah, aku ke rumah temanku untuk menyepakati kapan kami akan kembali ke sekolah. Kami bersekolah di Pondok Pesantren yang mewajibkan santrinya untuk tinggal di asrama. Kami selalu berangkat dan pulang bersama, karena selain rumah kami dekat juga memiliki hubungan kerabat. Kami sepakat akan berangkat pukul lima sore ini, sebab hari senin besok sekolah sudah di mulai.
Lepas Ashar, aku berinisiatif mengajak temanku untuk mandi di sungai. Temanku setuju, dan ia membawa salah seorang teman lainnya. Kamipun mandi di sungai. Setelah itu kami langsung pulang ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah Ibu memarahiku.
”Kalau kamu mau menyiapkan barang untuk ke pondok jangan main lagi”, tegasnya.
“Bu, aku sudah mandi, kok,“ dalihku.
“Uang jajan hanya 50.000 rupiah. Selasa besok ibu gak ke sana lagi,” kata ibuku terdengar getir bagiku.
“Iya apa adanya aja.” Tukasku.
“Iya apa adanya, kamu gak bisa hemat uang”, Ibu mengeluh.
Aku memilih diam. Dan siap-siap back to school.
(Penulis adalah santri kelas X Madrasah Aliyah PPNI Sitiung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar